Sistem pemerintahan presidensial adalah salah satu model pemerintahan yang umum digunakan di banyak negara, di mana presiden berperan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Meskipun memiliki kelebihan, seperti stabilitas dan efektifitas dalam pengambilan keputusan, sistem ini juga memiliki berbagai kekurangan yang dapat mempengaruhi tata kelola pemerintahan dan kesejahteraan rakyat. Artikel ini akan membahas berbagai kekurangan dari sistem pemerintahan presidensial secara detail.
1. Konsentrasi Kekuasaan pada Satu Individu
Salah satu kekurangan utama dari sistem pemerintahan presidensial adalah konsentrasi kekuasaan pada satu individu, yaitu presiden. Dalam sistem ini, presiden memiliki kewenangan yang luas dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam isu-isu kebijakan vital.
Mengacu pada pemaparan di berbagai literatur, seperti "Comparative Politics: A Global Introduction" oleh Michael G. Roskin, konsentrasi kekuasaan ini dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Dalam banyak kasus, presiden yang memiliki kekuasaan besar dapat bertindak otoriter, mengekang demokrasi dan mengabaikan prinsip-prinsip hukum.
Contoh yang sering dikemukakan adalah pengalaman negara-negara Amerika Latin, di mana beberapa pemimpin yang terpilih melalui jalur demokratis akhirnya mengubah konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan mereka. Ketika kekuasaan terlalu terakumulasi, risiko pelanggaran hak asasi manusia dan pengabaian terhadap suara rakyat meningkat.
2. Rentan Terhadap Politisi Populis
Sistem pemerintahan presidensial memfasilitasi kemunculan pemimpin-pemimpin populis yang dapat mengeksploitasi sentimen publik untuk mencapai kekuasaan. Dalam konteks ini, presiden dapat dengan mudah mengarahkan perhatian masyarakat untuk fokus pada isu-isu emosional dan mengabaikan masalah struktural yang lebih kompleks.
Satu studi yang dipublikasikan di "Journal of Democracy" menyebutkan bahwa politisi populis cenderung menggunakan retorika yang menciptakan ketegangan antara "rakyat" dan "elit", yang dapat menggoyahkan stabilitas politik dan memicu konflik sosial. Ketika pemimpin mempromosikan agenda yang lebih bersifat emosional daripada berdasarkan kebijakan yang rasional, hal ini bisa menimbulkan dampak buruk bagi keberlanjutan pemerintahan.
3. Ketidakpastian Kebijakan dalam Pemilihan yang Berdekatan
Sistem presidensial cenderung mengalami ketidakpastian yang lebih tinggi dalam kebijakan. Ketika presiden baru terpilih, ada kemungkinan besar perubahan drastis dalam kebijakan yang tidak selalu menguntungkan masyarakat. Hal ini terjadi terutama ketika presiden berusaha untuk membatalkan atau mengubah kebijakan yang sudah ada demi kepentingannya sendiri, atau untuk mencerminkan janji politik saat kampanye.
Misalnya, di Amerika Serikat, dari Obama ke Trump, perubahan signifikan dalam kebijakan kesehatan, lingkungan, dan sosial menunjukkan betapa berpengaruhnya pergantian presiden terhadap keberlanjutan kebijakan. Dalam batas ini, transisi kepemimpinan dapat menciptakan kesulitan bagi institusi dan masyarakat sipil yang telah beradaptasi dengan kebijakan sebelumnya.
4. Polaritas Politik yang Ekstrem
Sistem pemerintahan presidensial sering kali berkontribusi pada polaritas politik yang ekstrem. Dalam sistem ini, perbedaan antara partai politik dapat menjadi sangat tajam, terutama jika terdapat oposisi yang kuat terhadap kebijakan presiden.
Research dari "Political Behavior" mengungkapkan bahwa ketidakpuasan yang berlarut-larut terhadap kepemimpinan presiden dapat memicu konflik internal dan pertikaian antar partai, menurunkan efisiensi legislatif dan menjauhkan pihak-pihak dari dialog konstruktif. Akibatnya, ini dapat berujung pada gridlock dalam proses pengambilan keputusan, di mana undang-undang penting terjebak dalam meja perdebatan dan tidak dapat disahkan karena perbedaan pandangan yang terlalu mendalam.
5. Pengabaian terhadap Kebijakan Berkelanjutan
Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden sering kali lebih fokus pada pencapaian jangka pendek yang dapat memberikan imbalan politik langsung, mengabaikan kebijakan berkelanjutan yang mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk memberikan hasil.
Contoh paling nyata bisa dilihat dalam kebijakan lingkungan. Seringkali, kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, seperti penghamburan sumber daya alam, diambil alih oleh kebijakan yang kurang durabilitas. Hal ini berpotensi merusak lingkungan dan menghadirkan tantangan besar bagi generasi mendatang.
Studi dari "Environmental Politics" memberikan contoh konkret tentang bagaimana pengambilan keputusan yang berbasis pada kepentingan politik jangka pendek dapat merugikan jangka panjang, terutama dalam hal kelestarian isu lingkungan.
6. Tantangan dalam Mempertahankan Akuntabilitas
Sistem presidensial juga menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan akuntabilitas. Ketika presiden memiliki kekuasaan yang luas dan tidak seimbang dengan lembaga lain, hal ini sering kali dapat menimbulkan rasa tidak puas di kalangan publik.
Penelitian yang disajikan dalam "Governance: An International Journal of Policy, Administration, and Institutions" menunjukkan bahwa kurangnya akuntabilitas menyebabkan timbulnya politik klienelisme dan korupsi yang merugikan masyarakat. Ketika lembaga legislatif dan yudikatif tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengawasi tindakan presiden, maka presiden bisa luput dari pertanggungjawaban atas kebijakan yang merugikan rakyat.
Di banyak negara, seperti yang terlihat di Nigeria dan Indonesia, situasi di mana pemimpin tidak mampu atau tidak mau mempertanggungjawabkan tindakan mereka telah menyebabkan meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
7. Permasalahan dalam Pembagian Kekuasaan
Sistem pemerintahan presidensial dapat menimbulkan masalah dalam pembagian kekuasaan antara berbagai lembaga. Ketika presiden tidak dapat bekerja sama secara efektif dengan legislatif atau yudikatif, yang maju dalam persaingan semakin menghapus keterlibatan masyarakat dalam proses politik.
Dalam analisis yang terdapat di buku "The Politics of Public Organization" oleh Robert E. Coughlan, disebutkan bahwa pembagian kekuasaan yang tidak seimbang dapat mengancam keberlangsungan demokrasi. Ketika presiden mencari cara untuk memperluas kekuasaannya dalam melawan oposisi, akan muncul krisis kepercayaan yang lebih dalam dalam sistem politik.
Kelemahan ini tergambar jelas dalam negara-negara dengan latar belakang perubahan demokrasi yang baru, seperti Thailand, di mana konflik antara eksekutif dan legislatif sering kali memperdalam perpecahan politik.
Dengan demikian, meskipun sistem pemerintahan presidensial dapat menawarkan sejumlah keuntungan, kekurangan-kekurangan ini tidak bisa diabaikan. Memahami tantangan yang dihadapi oleh sistem ini penting untuk menciptakan solusi di masa mendatang yang lebih baik bagi tata kelola pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat.